Dari Minggu ke Minggu
Ada
kenangan masa kecil yang terbawa hingga dewasa, dan itu terjadi pada banyak
orang. Kejadian di masa lalu yang mempengaruhi pilihan hari ini. Suatu kenanganku
di Minggu pagi ketika kanak dulu, terbawa hingga kini, di masa kuliah. Mungkin
juga hingga di masa yang akan tiba. Salah satu kenanganku tentang FLP.
Satu
dari beberapa kebiasaanku ketika kecil di Minggu pagi, menunggu kedatangan
tanteku. Biasanya ia akan tiba setelah berbelanja di pasar tradisional yang tak
jauh dari rumah ibuku. Menjelang kembali ke rumahnya, ia selalu mengajakku
untuk ikut. Aku akan segera memandang ibuku. Jika ibuku mengangguk, aku akan
bersorak, dan segera mengganti pakaian.
Hampir
tiap Minggu aku ke rumah sana, lalu melongok dan menggapai ke kolong meja di
ruang tamu, banyak majalah anak-anak bertumpuk. Kakak sepupuku yang empat tahun
lebih tua memang suka membaca. Terkadang aku melirik pada rak buku miliknya. Beberapa
komik dan buku cerita anak yang tersusun di sana juga kuambil dan kubaca.
Memasuki
SMP, sepupuku mulai mengoleksi novel dan kumpulan cerpen. Sebenarnya mereka
kalah pamor dibanding majalah dan komik. Tapi sepupuku tak lagi berlangganan
majalah anak-anak dan membeli komik. Sementara koleksi novelnya makin bertambah.
Suatu hari tak lagi kutemukan majalah, komik, atau buku cerita anak-anak yang
belum pernah kubaca. Semuanya sudah pernah kusentuh. Dengan ragu aku mengambil salah
satu novel tebal sepupuku itu. Kulihat judulnya. Story of Jogja. Novel tentang detektif SMP.
Setelah
kubaca, ternyata menarik juga. Perlahan namun pasti aku mulai menyukai membaca
novel dan buku kumpulan cerpen. Bacaanku tak lagi seputar majalah anak-anak
atau komik saja. Saat kubolak-balik sampul novel-novel itu, sering kutemukan
logo bertulis DAR! Mizan ataupun FLP. Secuplik tentang penulis yang berada di
bagian belakang buku pun juga kubaca. Tertarik dan terpesona akan ceritanya, aku
pun berpikir, aku juga ingin seperti mereka. Waktu kemudian membawaku
berkeinginan menjadi penulis.
Aku
mulai mencoba untuk menulis cerita. Tapi pendek-pendek, dan sebagian besar tak
ada yang selesai kutulis. Entahlah, ketika itu keinginan untuk “menjadi seperti
mereka”, para penulis itu, kuendapkan dulu. Namun jika ditanya apa cita-citaku,
kutulis salah satunya ingin menjadi penulis.
Bertahun
setelahnya, aku masih dengan bacaanku, dan dengan cerita-cerita yang kutulis
sepatah-patah. Beberapa berhasil selesai sampai akhir. Kufermentasikan di buku
atau komputer. Tak pernah kupublikasi. Ah, aku juga mulai menulis puisi. Di
puisi, perasaan dan gagasan yang melintas dapat kutuangkan dengan beberapa kata
saja. Namun aku masih menyimpan hasrat untuk menulis cerita, ia tak hilang
dalam waktu.
Hingga
akhirnya memasuki kuliah, di semester ketiga. Aku membaca pengumuman open recruitment komunitas menulis. Kulihat,
tercantum logo FLP dengan buku terbuka dan sebuah noktah merah, seperti yang
kulihat dulu di pagi Minggu pada buku-buku sepupuku. Buku yang membuatku ingin
menjadi penulis cerita juga. Namun kali ini logo itu ada tambahan tulisan
Sumbar di bawahnya. Aku membatin, aku harus daftar. Ini salah satu keinginanku
sewaktu kecil. Kuputuskan untuk mengirim puisi sebagai salah satu syarat
pendaftaran berupa karya.
Di
hari open recruitment, entah itu hari
Sabtu atau Minggu, materi berjalan hingga sore. Panitia mengenalkan apa itu
FLP, kegiatannya, tentang dunia tulis-menulis, dan lain sebagainya. Saat mendekati
senja, di penghujung acara MC mengumumkan karya terbaik dari peserta. Judul
puisi dan namaku disebut. Ah puisiku terpilih jadi puisi terbaik di antara
puisi lainnya. Bagaimana bisa? Dengan gugup aku maju ke depan, menerima
sertifikat dan novel karya penulis FLP Sumbar sebagai hadiah. Minggu-mingguku
selanjutnya diisi dengan mengikuti diskusi karya yang diadakan FLP. Sedikit
banyak, ilmuku mulai bertambah. Hingga di satu Minggu, aku wisuda. Mengenakan
toga dari karton berbungkus koran, resmi menjadi anggota komunitas Forum
Lingkar Pena.
Diskusi-diskusi
karya berjalan. Di taman kota, di sekretariat, juga di pustaka daerah. Kawan
baru dan senior yang bagi-bagi ilmu dan motivasi. Aku tak tahu, ada sesuatu di
sana, saat berada di antara mereka. Mungkin karena tak ada sistem senioritas,
mungkin suasana terasa lebih mencair dan senior lebih menerima kami dengan
tangan terbuka. Mungkin juga karena kami disatukan oleh kesukaan yang sama.
Belum lagi kegiatan yang diadakan. Buka bersama anak panti asuhan. Menjadi panitia
dalam “Parade dan Festival Sastra Anak” yang diadakan pustaka daerah. Suatu
waktu lainnya kembali FLP Sumbar ditawari dalam “Pekan Literasi”. Salah satu
rangkaian acaranya adalah mendengarkan dongeng yang diperuntukkan bagi anak SD.
Aku kembali terlempar ke masa kecil. Sering aku sudah lupa akan dunia dongeng.
Tapi siang itu, aku seperti dikembalikan ke suatu masa.
Banyak
yang kudapatkan di sini. Lewat FLP juga, aku bisa menjadi kontributor buku yang
akan diterbitkan pustaka daerah. Sementara sekitar Bulan Juli lalu, dalam suatu
diskusi, aku mendapat materi tentang cerita anak oleh Mbak Naqiyyah Syam dari
FLP Lampung. Akhirnya aku mulai beranikan untuk mengirimkan karyaku ke koran
lokal. Dua minggu kemudian, saat itu Bulan Ramadhan, cerpenku dimuat. Beberapa
minggu sesudahnya sebuah artikel pendek juga dimuat. Senang sekali. Meski jika
dibandingkan dengan senior lain yang tiap minggu tulisannya selalu terbit,
tentu aku masih jauh.
Bagiku
ada sesuatu di sana. Apalagi saat suatu semangat di Minggu pagi, ketika kawan-kawan
saling bertanya dan memberikan informasi, tentang karya siapa yang berhasil
menembus koran. Juga tentang semangat dan motivasi yang ditebar. Tak sekali dua
kami mendapat sms dari ketua berisi kalimat, “Mari kita serbu koran di hari
Minggu.” Aku tahu, masih harus banyak belajar. Tapi setidaknya, perlahan-lahan
kini aku sedang dalam proses untuk “menjadi seperti mereka”, layaknya
keinginanku ketika kecil dulu.
Oleh:
Zikra Delvira
Anggota
Forum Lingkar Pena Sumbar
Sumber: Ist
0 Comments