Saluran Jurnalisme Pengukuhan dan Blur
Ist.
Mampus kau dikoyak-koyak idealisme
Mampus kau dikoyak-koyak realisme
Kau memilih yang mana?
Hari ini aku menemukan hal yang paradoks pada diriku
Ini tentang tulisan tahun lalu
Dan telepon di sore ini
'Sebuah undangan'
Tadinya aku mencari cara untuk memenuhi undangan itu
Tapi laman facebook yang kali ini baik hati seperti menamparku
Ia memunculkan situs tulisanku yang ku-share di tahun lalu
Tepat di tanggal hari ini
Tulisanku yang mengkritik 'mereka' yang mengundangku
Di bawah ingatan tulisanku tahun lalu
Teman Ternate-ku yang pernah masuk penjara karena memvideokan polisi suap
Menshare berita-berita yang masih seperti dulu
Ia masih seperti dulu
Berteriak dan mengepalkan tangan, "Hidup Pers Mahasiswa"
Ia masih seperti dulu
Aku yang berubah
Kawanku, lebih memilih Mampus dikoyak-koyak idealisme
Akhirnya, aku tahu benar-benar
Mahasiswa yang dulu idealis
Yang melontarkan kata-kata tentang segala
Seyogyanya, harus membuktikan omongannya itu nanti
Setelah ia diwisuda
Berikut, tulisanku tahun lalu
Sebagian kuhapus
(29 Januari 2018)
Saya
jadi ingat, waktu itu tahun 2010. Sekelompok mahasiswa berdemo di Bundaran HI,
mengkritik dan mengkritisi pemerintah. Demo itu begitu berbeda dengan panitia
aksi yang menghadirkan peserta demo istimewa, seekor kerbau, bernama Sibuya. Di
pungggung kerbau ditulis “SiBuYa”, dengan
huruf S, B, dan Y kapital. Tendensius sekali. Esoknya atau beberapa hari
sesudah itu, SBY di depan wartawan dan media menyampaikan uneg-unegnya.
“..
Ada yang bawa kerbau. ‘SBY badannya besar, malas dan bodoh seperti kerbau’. Apa
itu ekspresi kebebasan demokrasi?”
Rasa-rasanya,
sebagai orang yang tergabung di lembaga pers mahasiswa (LPM) sejak akhir 2014
lalu, saya telat baru membaca Blur
ini sekarang. Tapi kata pepatah, lebih baik terlambat daripada tidak sama
sekali. Buku ini saya pinjam dari rak LPM saya. Pada covernya, di bawah judul
tertulis begini ‘bagaimana mengetahui kebenaran di era banjir informasi’. Buku
yang tak cuma relevan bagi kalangan pers, baik itu pro, amatir, maupun yang pers
mahasiswa, namun juga relevan untuk tiap konsumen berita (saya bukan agen
penjualan buku ini dan saya tidak sedang endorse). Garis besar dari buku ini
yang saya simpulkan: jadilah skeptis dan verifikasilah info yang didapat. Meski
hal tersebut juga sudah didapat ketika saya masih ditatah menjadi calon anggota
di LPM, tapi rasanya lebih mengena saat membaca buku ini.
Di
buku ini, dituliskan bahwa terdapat empat metoda jurnalisme. Pertama jurnalisme
verifikasi, jenis jurnalisme yang mengedepankan bukti dan pembuktian. Kedua,
jurnalisme pernyataan, jurnalisme ini dimana wartawan hanya berperan sebagai
corong narasumber tanpa memperhatikan apakah narasumber sudah mengatakan hal
jujur dan benar atau tidak. Wartawan hanya sebagai juru ketik. Selanjutnya, jurnalisme kepentingan kelompok. Misalnya munas partai A yang disiarkan secara berlebihan di TV X, karena ketua partai A dengan pemilik TV X adalah orang yang sama. Atau media-media yang memang lebih banyak memberitakan tentang kegiatan kelompoknya, Seperti media humas suatu lembaga.
Lalu ada jurnalisme pengukuhan. Jurnalisme yang beritanya disetting, minim verifikasi, sebagian besar bohong atau dipelintir, dibuat untuk menaikkan rating atau berdasarkan kepentingan kelompok tertentu macam fraksi politik.
Lalu ada jurnalisme pengukuhan. Jurnalisme yang beritanya disetting, minim verifikasi, sebagian besar bohong atau dipelintir, dibuat untuk menaikkan rating atau berdasarkan kepentingan kelompok tertentu macam fraksi politik.
(1
Januari 2017, 03.12)
2 Comments
yang keempat apa? di atas cuma kamu share tiga jik.
ReplyDeleteHehe, tak terbuat moik kemarin,, udah aku tambahin :D kekeke
ReplyDelete