Cerita Pada Karang
Halo
Karang
Selamat
fajar, dan salam kenal. Ini pertama kalinya kita berbincang.
Aku
ingin menceritakan suatu hal padamu, tentang seorang lelaki yang kutemu di suatu
hari menjelang senja, beberapa waktu lalu.
Ia
berwajah ramah, kebapakan. Menunggui anaknya kala itu. Seorang abdi kerajaan,
namun kami bertemu tidak dalam lakon ia sebagai abdi. Kami hanya bertemu dengan
aku sebagai aku, dan ia sebagai ayah.
Kau
tahu Karang, ia lelaki pencerita.
Kadang
ia menceritakan dirinya, kadang ia memotivasi aku setelah bertanya tentang
diriku dan setelah aku menyampaikan keinginan-keinginan tentang masa depan. Ujarnya,
kejar apapun yang ingin kau kejar saat ini, ketika masih muda ini. Karena nanti
ketika tua kau akan menyesali hal-hal yang tidak kau lakukan daripada yang
telah kau lakukan.
Ya
ya, bahkan aku juga pernah membaca kalimat itu dalam tulisan kawanku.
Ia mengarahkanku, untuk menjadi abdi kerajaan juga, sama sepertinya.
Aku
pikir, seseorang dengan jiwa yang bebas tak akan cocok untuk menjadi abdi
kerajaan. Karena abdi kerajaan akan tergarisi dengan pakem dan aturan yang
banyak.
Aku
pernah menonton berita, dua orang abdi kerajaan yang sedang berjalan-jalan di
pusat perbelanjaan di jam kerja ditangkap oleh hulubalang. Berbarengan dengan pelajar
yang bolos sekolah.
Walau
memang, di satu sisi dengan menjadi abdi, hidup akan terjamin. Bahkan hingga
tua. Bisa dapat beasiswa yang dibiayai kerajaan juga. Lagipula kau akan
mengabdi pada kerajaan, pada rakyat.
Tapi
ternyata Karang, entah aku naif, atau ternyata aku yang kebetulan bertemu
dengan Lelaki Pencerita itu.
Katanya,
jika ingin bebas, justru jadilah abdi kerajaan.
Jika
ingin keluar ketika jam kerja, makanya berpandailah, tukar seragammu dengan
pakaian santai.
Dengan
menjadi abdi, kau bisa keluar melihat-lihat kerajaan lain.
Siapa
yang akan memarahimu jika kau jadi abdi? Atasanmu? Atasan tidak akan marah
selagi pekerjaan kita selesai
Dengan
menjadi abdi, kau akan aman dari bayang-bayang dipecat. Paling-paling kau akan
dipindah ke bagian lain (jika nanti kau berseberangan dengan atasanmu yang
tidak kau dukung saat pemilihan)
Kata Lelaki Pencerita itu, untuk
mendapatkan pekerjaan yang diinginkan, tak apa jika pakai koneksi dan keping
emas. Jika nantinya kau lulus, berarti memang itulah yang ditunjukkan Tuhan
sebagai jalanmu.
Aku sudah pernah dengar tentang itu
dari orang-orang, Karang. Tapi rasanya lebih menohok saat mendengar langsung
dari seorang abdi dan ia melakukan pembenaran. Ahahaha,, aku hanya bisa
mengerut-ngerutkan kening. Aku tak setuju, namun tak begitu berselera berdebat
ketika itu.
Seharusnya kau dengar saat ia
bercerita. Kesan yang kutangkap darinya ialah, bahwa yang dicari dari bekerja
adalah mendapatkan benefit sebagus mungkin. Yang lain urusan belakangan.
Aku pun tak senaif itu Karang. Tentu
saja bekerja juga untuk memenuhi kebutuhan hidup. Mendapat penghasilan layak
dan sebagainya. Tapi bagiku semata tak
hanya itu.
Kata
kawanku, seorang pemuda eksentrik dengan kaca mata bulat dan rambut keriting:
Jika kamu bekerja untuk sekedar
uang
Kasihan sekali ya kamu
Kupikir-pikir,
benar adanya.
Mungkin
orang yang bekerja untuk sekedar uang, hanya mencapai tingkatan teori Maslow
yang pertama. Kau ingat teori Maslow? Jika tidak, bisa kau baca kembali di buku,
Karang.
Pernah
ketika Dhuha, di sembarang waktu. Matahari yang sepenggalah itu berbisik
padaku,
Kerja bukan sekedar bekerja
Bukan sekedar untuk cari uang
Tapi bekerja untuk berkarya
Untuk mengabdi
Aku
tahu, tipe orang tak semua seperti Lelaki Pencerita itu. Aku tahu masih banyak
yang tulus. Yang memang ingin mengabdi. Mungkin abdi di kantor kelurahan
rumahku yang ramah itu. Mungkin kawan-kawanku yang sedang menjalani
pendidikannya. Mungkin mereka yang baru akan melanjutkan pendidikannya di
perguruan abdi. Juga sepupuku yang tak main sikut-sikut untuk bergabung di
kantor demang. Dan puluhan ribu lainnya, aku pikir masih banyak yang tulus dan
jujur. Termasuk guru-guruku di sekolah dan perguruan. Ah, tabik untuk mereka.
Kupikir
ceritaku sudah terlalu panjang. Akan kusudahi. Sebagai penutup, sebenarnya aku
takut menceritakan ini padamu. Aku takut terlalu banyak omong. Karena aku tak
tahu diriku di masa depan akan seperti apa. Mungkinkah aku berubah, menjadi
seseorang yang mirip dengan Lelaki Pencerita yang kutemui tempo waktu. Tapi
semoga saja tidak.
Lindap
semakin hilang di fajar ini, Karang. Kini, akan kudengarkan ceritamu.
Salam
Hangat
Utara
0 Comments