Burung-Burung Manyar
Barusan aku membaca roman
Burung-Burung Manyar karangan Y.B Mangunjiwaya. Pada Sabtu pekan lalu kubeli di
kios buku kecil Padang Panjang, kota dingin dengan penduduk yang hangat. Mangunwijaya jika di kalangan anak muda
memang tak sehits Pramoedya yang sudah menjadi ‘kekinian’ dengan tetralogi
Rumah Kaca. Namun Mangunwijaya tetap sastrawan Indonesia, penulis dengan banyak
karya yang memberi sumbangan untuk bangsa ini. #eaa (padahal seingatku aku baru
membaca 1 karyanya)
Walau ya, beberapa bagian ada
juga yang tak cucok denganku. Terlalu open bagi pikiran anak-anakku (sok muda).
Antara membaca prosa, yang penuh
humoristik, dan juga kemudian penuh filosofi, layaknya karya penulis-penulis
lama. Menyenangkan membaca tentang kisah-kisah di zaman perang kemerdekaan, budaya
dan kehidupan masyarakat pedesaan maupun kota kala itu, clash I dan II, dan
juga romantisme revolusi. #eaaa lagi
Dan saat membaca novel ini
seringkali ingatanku menyusup ke Februari tahun lalu, yang basah dan sendu di
Ambarawa. Aku dan kawan-kawan yang baik hati menyempatkan diri ke museum
kereta, benteng pendem, dan kantor polisi setempat. Kami melewati portal yang
setengah tertutup. Halaman luas hijau, bangunan-bangunan lama dengan atap
genteng yang cembung membulat di satu sisi khas rumah model lama, juga Pak
Dirman yang diam batu. Ia berdiri mengenakan jas panjang. Sebagai penangkal
angin bagi paru-parunya yang sakit.
Bagiku di Februari itu,
melemparku ke tahun-tahun yang lampau, yang lalu. Seperti aku kembali ke zaman
yang diceritakan Mangunwijaya dalam Burung-Burung Manyar. Sore itu bahkan hujan
di Ambarawa. Ada yang mengatakan hujan membawa kenangan, begitu juga denganku,
walau hanya sebatas kenangan yang terimajinasikan berkat tulisan sastrawan.
Kali-kali nanti kubuat
resensinya. Semoga tambah 1 atau 2 orang yang membaca roman.
0 Comments