Lelaki Serunai
Oleh: Zikra
Delvira
Sebagaimana
biasa, kota di pesisir Sumatera ini terasa panas di siang hari. Matahari bersinar
terang benderang. Jika begini, baju yang dijemur sejak pagi akan kering di waktu-waktu
ketika azan
Zuhur
berkumandang di menara serta toa mesjid. Sesekali jika ada badai di laut yang
terhembus hingga ke darat, awan comulonimbus yang berat bergumpal-gumpal hingga
membawa mendung. Membuat angin menerbangkan daun-daun di pohon dan menjadikan hati
sebagian pedagang kaki lima di jantung kota menjadi deg deg ser, kalau-kalau tenda
mereka yang tak begitu kokoh akan terjatuh suatu waktu.
“Mon, tolong bawa ini,” Lin kawanku memberikan nampan.
Aku sigap menerimanya.
“Kau
taruh di sana,” tunjuknya pada etalase kaca.
“Ya.”
Di salah satu sudut jantung kota itu,
seorang lelaki paruh baya duduk. Tepatnya di emperan salah satu toko dengan manekin-manekin
putih berwajah datar yang dipakaikan baju. Sebuah ember kecil berwarna hijau apel
terletak di depan lelaki paruh baya itu. Tidak, ia bukan pengemis. Melainkan
pemusik jalanan yang menawarkan nada-nada dari tahun-tahun yang tua pada pejalan
kaki yang melintas di depannya.
“Kak,
soto ayamnya dua ya kak?” seorang perempuan yang lebih muda berdiri di hadapanku.
“Mejanya
yang itu,” tunjuknya.
“Ingin
pesan minum?” tanyaku.
Ia
nampak berpikir sejenak. “Teh es saja Kak, juga dua,” katanya sambil mengunjuk
jari telunjuk an tengah padaku.
“Baik,”
aku mencatat pesanannya dan memberikan pada rekanku di dapur.
Pemusik
jalanan. Nama yang lebih elegan dibanding pengamen. Ia tidak bernyanyi, walaupun
suaranya indah memikat. Mulutnya lebih memilih untuk sibuk meniup-niup pupuik
serunai, alat musik tradisional dari pedalaman Minangkabau. Di sela-sela
pengunjung yang memesan makanan padaku, kulihat dua anak SMA mondar-mandir di depan
lelaki peniup seruna, menikmati irama mendayu-dayu di tengah terik begini. Tampaknya,
mereka jarang mendengar alunan itu. Mereka lebih familiar mengadakan pentas
musik dengan gitar, drum, keyboard di panggung.
Doc. Ist
Doc. Ist
Sesekali lelaki serunai itu mengangguk
pada orang yang meletakkan uang di ember kecil di hadapannya. Sekali waktu, lebih
sebulan dulu, pernah ada seorang pemuda yang duduk di sampingnya begitu lama. Dan mereka bercakap-cakap. Wajah
pemuda itu cerah. Aku taksir, pemuda itu memang orang yang gampang dekat dengan
orang-orang baru yang dikenalnya. Lelaki peniup serunai itu terlibat perbincangan
yang akrab dengan pemuda. Ia sesekali menunjuk-nunjuk pada serunai yang dipegangnya.
Sepertinya menjelaskan tentang alat musik tradisional itu.
“Hahaha,”
tawa dari kerongkongan pemuda itu menggelegar.
Itu
saja yang dapat terdengar. Selebihnya, hanya mulut mereka yang komat-kamit bagiku.
Lepas setengah jam, mereka bersalaman. Si Pemuda memotret Lelaki Serunai dan meletakkan uangnya di ember kecil. Entah berapa
yang diberinya. Aku bertanya-tanya untuk apa ia memotret.
Doc. Padangkita.com
***
Dua
hari kemudian setelah pemuda yang memotret Lelaki Serunai, tepatnya sebulan yang
lalu, rekan kerjaku memberi tahu. Wajah Lelaki Peniup Serunai muncul di salah satu
koran lokal. Aku mulanya menganggapnya mengada-ngada. Namun kemudian disodorkannya
padaku sebuah halaman. Ah ya, memang Lelaki Serunai. Melihat potretnya, aku langsung
teringat pada pemuda berwajah ramah yang memotretnya tempo hari.
“Linta, Moni, tak kerja?”
seorang wanita dengan gincu coklat tiba-tiba datang dan menegur. Rekanku
langsung pontang-panting ke belakang, meninggalkan koran tadi padaku.
“Ah,
maaf Bu,” ujarnya.
“Maaf
Bu,” aku juga segera beranjak. Koran itu kusimpan di kantung celemek.
Sambil
bekerja, aku sesekali menoleh keluar. Ke tempat dimana biasanya Lelaki Serunai duduk.
Namun ia tak di sana. Kutahu pasti, ia pindah tempat. Jam-jam segini, emperan
toko di seberang jalan itu panas kena sorotan cahaya matahari. Ia pindah ke dekat
pusat perbelanjaan di dekat lampu merah. Ada rasa bangga menyusup, Lelaki Serunai
itu masuk koran! Ya, walaupun hanya koran lokal.
Istirahat
solat Ashar, aku sempatkan untuk membaca koran pemberian Ri. Kubaca tentang Lelaki
Serunai. Potongan tulisan pemuda wartawan itu,:
Bin, sudah berkarier
sebagai peniup pupuik serunai sejak muda. Lelaki 56 tahun itu berguru pada
sesepuh di kampungnya, di kaki Gunung Singgalang. Saban sore hingga larut
malam, mereka mempelajari musik tradisional, mulai dari cara berdendang, meniup
pupuik serunai dan saluang, memukul talempong, hingga menggesek rabab.
Usia remaja ia dan
grupnya menjadi pemusik keliling yang diundang ke berbagai tempat untuk
memeriahkan berbagai alek, dari perkawinan, batagak penghulu, dan lainnya. Kini, Bin memilih untuk menjadi pemusik jalanan.
Demikian
dua potongan tulisan pemuda wartawan itu. Namun aku lebih tahu, cerita mengenai
Lelaki Serunai..
Tahun
1980-an tahun lalu, di masa jayanya sebagai pemusik tradisional yang acap diundang
ke berbagai alek. Ialah sang artis, bintang panggung bersama-sama dengan kawannya
segrup. Namanya bergaung dari daerah Kapur ID yang berbatas Riau hingga Talu yang
terletak di selatan. Ia mendedikasikan hidupnya untuk musik tradisional.
“Ini,
aku pernah bersalaman dengan gubernur,” Lelaki Serunai berkata sambil memperlihatkan
foto lawas padaku. Banyak lagi fotonya kala manggung. Ia nampak gagah dengan baju
gunting cina, sarawa galembong, dan deta di kepalanya. Aku saat itu mengangguk-angguk.
Memasuki
2000-an, makin sedikit yang memanggilnya. Orang-orang lebih suka mengundnag
orgen untuk pesta perkawinan.
“Biar, aku meniup serunai di jalanan. Agar alunan
ini bisa tetap terdengar. Lagipula ini kerja halal, ” ujarnya saat kutanya dahulu.
Aku mafhum, dan tak akan kuganggu kesenangannya.
***
Irama
sayup-sayup terdengar dari pedestrian seberang jalan. Mengeluarkan bunyi musik
pedalaman Minangkabau. Aku memandang hampa pada artikel tentang Lelaki Serunai di
koran, kusimpan guntingannya di kantung celemekku. Tak sesenang sebulan yang lalu.
Toh, tulisan ini akan berlalu begitu saja. Nampaknya tak akan membawa perubahan
apa-apa pada kehidupan Lelaki Serunai itu.
Menjelang
Magrib, jantung kota mulai sepi. Restoran tempatku bekerja sudah tutup. Aku
berjalan ke simpang jalan dekat lampu lalu lintas.
“Ayah,
ayo kita pulang.”
Lelaki
serunai itu berhenti meniup alunan pedalaman Minangkabau, lalu menoleh. Ia
tersenyum padaku.
***
Dimuat pada antologi cerpen "Green Apple"
2 Comments
Keren Zik
ReplyDeleteMakasih :)
DeleteIni siapa adminnya Beranda Edukasi?