The Grand Old Man
Leiden is lijden
– memimpin adalah menderita. Itu yang dipercaya seorang lelaki yang potretnya
terpampang di buku-buku Sejarah Indonesia dengan tampilan peci, janggut, dan
kacamata bulat. Lelaki yang ikut menjadi bagian pada zaman pergerakan nusantara, menjadi salah satu bapak bangsa dan dijuluki sebagai The Grand Old
Man: Agus Salim.
The Grand Old Man
Ist.
Leiden is lijden.
Karena prinsipnya ini, Willem Schermerhorn, ketua delegasi Belanda saat
Perundingan Linggarjati menyebut: Agus Salim itu jenius, brilian. Namun satu kurangnya,
selama hidupnya ia melarat. Hingga akhir hayatnya, ia bahkan tinggal di rumah
kontrakan.
Tapi tentunya,
tinggal sampai akhir hayat di rumah kontrakan bukan suatu masalah bagi lelaki
kelahiran Koto Gadang ini. Maka jika Tan Malaka menyebut bahwa idealisme adalah
kemewahan terakhir yang dimiliki anak muda. Bagi Agus Salim, membawa idealisme dan
prinsipnya sampai hayat dikandung badan.
Jika membahas
tentang kehidupan tokoh-tokoh bangsa, tentunya masyarakat lebih mengetahui
tentang Soekarno, Hatta, atau Sutan Syahrir. Jadi kali ini, mari kita lebih mengenal
Agus Salim, sosok yang berhasil mengantarkan pengakuan dunia internasional
secara de jure atas kemerdekaan bangsa Indonesia.
Diplomat Indonesia di Mesir
Ist.
1. Bernama Kecil Masjhudul Haqq
Jauh
di abad 19, terdapat seorang kepala jaksa di Pengadilan Tinggi Negeri Riau
zaman pemerintah Hindia Belanda, bernama Sutan Muhammad Salim. Saat anak
lelakinya lahir pada 8 Oktober 1884, diberinyalah nama: Masjhudul Haqq, yang
berarti pembela kebenaran.
Istri
Sutan yang bernama Siti Zainab kemudian dibantu oleh seorang pengasuh dari
Jawa. Alih-alih memanggil anak asuhannya dengan nama yang diberikan orangtua,
pengasuh itu justru memanggil dengan panggilan Den Bagus atau Agus, panggilan
yang biasanya digunakan untuk anak ningrat di daerah Jawa.
Namun
kemudian nama inilah yang melekat pada
anak lelaki ini, saat bangku sekolah ditambahkan nama Salim untuk mengikuti
nama keluarga. Sehingga sampai saat ini Masjhudul Haqq dikenal dengan nama Agus
Salim.
2. Seorang
Jenius yang Brilian
Mempunyai
bapak yang terpandang dan seorang pejabat, Agus Salim bisa disekolahkan ke Europeesche
Lagere School (ELS). Karena kepintarannya ia menjadi kesayangan guru dan teman-temannya.
Saking sukanya belajar, Agus Salim rutin naik ke atap-atap rumahnya agar
terhindar dari ajakan main atau suruhan membantu pekerjaan rumah. Dari ELS ia melanjutkan pendidikannya ke Hoogere Burgerschool di Betawi.
Dari
sekolah hingga usia dewasanya, Salim terus mempelajari bahasa. Sehingga ia
dikenal sebagai poligot, orang yang menguasai beberapa bahasa. Salim dapat
menggunakan bahasa Melayu, Arab, Inggris, Belanda, Latin, Mandarin, Jerman dan
Turki. Untuk bahasa daerah setidaknya ia fasih menggunakan bahasa Minang,
Sunda, dan Jawa.
Saat Muda
Ist.
Kecerdasannya
tak hanya berhenti di seputar di bahasa saja. Ia juga terkenal sebagai diplomat
ulung yang fasih berkomunikasi. Serta menjadi dosen, politikus, jurnalis,
penerjemah, khatib shalat Jumat, juga pendakwah.
3. Idealis yang Out of The Box
Seperti
yang dituliskan di atas, Agus Salim tinggal di rumah kontrakan hingga akhir
hayatnya. Ia sebenarnya bisa hidup enak andaikan ia tetap bekerja di Bureau voor Openbare Werken (kalau sekarang sama dengan Dinas
Pekerjaan Umum).
Ilustrasi Hidup Enak Kekinian
Ist.
Ia
keluar dari posisinya sebagai pegawai pemerintah Hindia Belanda karena tak
sesuai dengan jiwanya yang bebas. Padahal saat itu, keluar dari jabatan di
pemerintah merupakan bancana besar bagi orang-orang di kampung halaman Agus
Salim.
Kisahnya
bermula ketika Salim mengajukan cuti panjang agar dapat pulang kampung dengan
tujuan membangun Holandsch Inlandshe-School di Koto Gadang. Tak mendapat izin cuti dari atasannya membuat
Agus Salim memilih untuk keluar.
Saat
menjadi kepala redaksi di majalah Neratja, Salim juga memilih mundur saat pemilik
majalah memintanya agar tak terlalu keras mengkritik pemerintahan Hindia
Belanda. Tak berapa lama setelah itu, ia kemudian mendirikan surat kabarnya
sendiri, Fadjar Asia.
Tak
hanya itu, sang istri Zainatun Nahar juga bercerita bagaimana suaminya melanggar
berbagai pantangan adat saat prosesi pernikahan mereka. Misalnya saat Agus
Salim melanggar larangan untuk bertemu dengan calonnya H-1 sebelum akad. Hal
itu dilakukannya untuk memastikan Zainatun Nahar saat itu menikah bukan karena
paksaan.
(Bersambung)
0 Comments