Gie dan Aktivis
Sore itu main ke tetangga, lobi Wakil Rektor III. Tepatnya
mau numpang teleponan karena tempat lain di PKM berisik, penuh suara-suara,
termasuk sekre yang diisi makhluk-makhluk manusia setengah speaker (nyahaha). Selesai
teleponan, kelihatan sebuah majalah. Dengan cover wajah close-up seseorang dan
judul yang menggugah,
“Gie dan Surat-surat yang Tersembunyi”.
Khas, khas Tempo
sekali. Langsung tertarik dan bolak-balik halamannya. Dari tajuk di cover bisa
ketahuan kalau liputan utamanya tentang Gie. Sosok yang ditonton filmnya
berulang-ulang sejak semester 1 kuliah , lebih dari empat tahun yang lalu. Film
yang dibuatkan sineas Mira dan Riri. Saat baca Tempo edisi November 2016 itu,
representasi Gie yang cool di film menguap. Ternyata dia anak gaul, cerewet. Bukannya si dingin nan misterius.
Ist
Gie yang aktivis, yang pintar, yang suka daki gunung, suka menulis dan vokal. Cukup untuk membuat banyak kawan-kawan yang
terinspirasi olehnya. Seperti Okto yang bilang betapa ia senang mendapatkan
beasiswa jurnalistik di Amerika, sama seperti Gie, ujarnya.
Seperti Isa yang bilang bahwa ia memiliki kesenangan yang sama dengan penulis puisi Mandalawangi Pangrango ini: menulis dan mendaki gunung. Pun halnya Dina juga. Lebih dari itu, banyak yang terinspirasi lebih dan lebih lagi.
Seperti Isa yang bilang bahwa ia memiliki kesenangan yang sama dengan penulis puisi Mandalawangi Pangrango ini: menulis dan mendaki gunung. Pun halnya Dina juga. Lebih dari itu, banyak yang terinspirasi lebih dan lebih lagi.
Bicara tentang Gie yang menulis dan aktivis, aku jadi sempat
terpikir. Masa-masa ketika tulisan mingguan yang harus disetor, rapat yang pernah
hingga 5-6 seminggu, kegiatan-kegiatan, maupun larian kaki yang mengejar
narasumber. Sempat aku merasa GR, sudah jadi aktiviskah begini?
Tapi makin lama, hingga berbulan kemudian, dan berkat
membaca tulisan seorang kawan, akhirnya sadar juga. Bahwa ternyata selama ini
belum cukuplah untuk pantas menyandang gelar aktivis. Pada akhirnya kami-kami
yang berkutat di lingkungan kampus ataupun agak keluar mengarahkan tulisan dan
gerakan ke kota, sebagian besar hanya mentok menjadi organisatoris saja. Hanya
itu. Untuk menjadi aktivis, bahkan aku belum membuat perubahan apa-apa. Belum
apa-apa. Yah, untuk sebagian kawan, gelar itu memang pantas disematkan.
Ada satu predikat yang kudapat ketika wisuda November lalu.
Ada rasa senang, ini untuk orang tua yang melihat anaknya sering pulang malam
dan sibuk tak berkejelasan. Tapi di satu sisi, muncul juga keraguan. Apakah
sudah pantas aku mendapat predikat yang membuat aku dan beberapa kawan lain menerima piagam dari rektor kala itu? Perubahan
apa yang sudah aku perbuat? Tak hanya perubahan untuk lingkup kampus tapi juga lingkup
yang lebih luas, ke masyarakat.
Sudah, itu saja. Ini hanya tulisan dan coretan acak. Rasanya
telah lama tak menulis.
Selamat Subuh.
Ahad, 19 Maret 2017
05.10
0 Comments