Cerpen: Langit Padang Indah Sekali (Singgalang Minggu, 5 Agustus 2017)
Ini cerpen buatnya udah lama.. Dan udah lama juga ngirimnya.. Kirain nggak bakal terbit, tapi ternyata terbit juga setelah berbulan-bulan... Walaaa
Langit
Padang Indah Sekali
Oleh:
Zikra Delvira
Aku
suka memotret. Dulu ketika SMP aku melihat kawanku, ia hobi memotret dengan
menggunakan kamera ponsel. Aku lihat hasilnya, dan memang keren, setidaknya
untuk ukuran anak SMP, dan ditambah pula bukan dengan menggunakan kamera
canggih seperti yang sering ditenteng-tenteng fotografer profesional. Karena
teman SMP itu, aku terinspirasi, dan jadi ingin belajar memotret juga. Tapi
saat itu aku belum memiliki gadget seperti
yang dimilikinya. Jadilah saat itu hanya bisa kuidam-idamkan seraya sesekali
membaca teori fotografi dan melihat-lihat jepretan orang-orang.
Saat
di SMA, ayah membelikan ponsel, ada kameranya dan cukup untuk memotret
kenangan-kenangan konyol masa SMA. Namun saat itu kamera ponsel yang kugunakan
belum bisa menangkap objek-objek dengan begitu bagus ataupun menghasilkan warna
tajam. Ya, dan ceritaku kemudian seperti cerita-cerita di buku pelajaran
Kewarganegaraan. Aku menabung, kemudian awal kuliah uangnya terkumpul dan
akhirnya aku bisa membeli kamera dengan spesifikasi yang lumayan. Sejak itu
acap aku memutari perkampungan, pergi ke pusat kota, ataupun ke objek wisata
hanya untuk memotret. Apa saja yang menarik bagiku kupotret, meski bagi orang
lain itu tak menarik sama sekali. Sekedar daun-daun kering, bayangan air,
lelehan lilin. Atau juga bangunan, langit, danau, human interest, dan lainnya. Alam menjadi favoritku. Sungai,
langit, bulir-bulir air hujan, serangga yang mengisap nekhtar, aku suka hal
semacam itu. Untuk mengasah kemampuan, aku bergabung dengan klub fotografi.
Sore
ini aku duduk-duduk santai di teras rumah. Sampai seseorang lewat di depan
rumahku.
“Hoi
fotografer, apa jepretanmu yang terbaru? Aku ingin lihat,” serunya.
Aku
menoleh, Da Tito rupanya. Beberapa bulan lalu aku pernah meminta izin memotretnya,
ia tetanggaku yang saat itu sedang mencangkul di halaman rumahnya untuk menanam
entah apa, mungkin singkong. Ia ramah, perawakannya sedang. Kerjanya serabutan.
Namun lebih sering kulihat hanya berada di rumahnya, kecuali akhir-akhir ini.
Katanya ia bekerja di Padang.
Semenjak kufoto ia, ia menjadi pengagum hasil
jepretanku. Sesekali ia bertandang ke kamarku, dan melihat-lihat beberapa foto
yang kupajang. Ia menyarankanku untuk mengikuti lomba fotografi.
“Bagus
fotomu Ki. Mending kau sertakan lomba, kalau menang kau bisa dapat uang,”
sarannya.
“Hehe,
sudah pernah kukirim fotoku untuk lomba Da.”
“Bagaimana,
kau menang?”
“Ya,
ada dua kali fotoku menang.” Aku melirik pada sertifikat yang kupajang di meja
belajar sejak seminggu lalu. Ia rupanya mengikuti mataku.
“Rifki
Anugrah,” dibacanya namaku di sertifikat itu.
“Hebat
sekali kau Ki, sedah menang lomba pula ternyata,” pungkasnya menepuk-nepuk
bahuku.
Ia
kemudian menyambung, “Kau pernah potret langit Padang? Itu bagus sekali Ki.
Apalagi kalau sore, warnanya berubah-ubah. Biru, biru tua, keunguan, merah
muda, jingga” ujarnya. Da Tito memang menghabiskan masa kecilnya di ibukota
provinsi itu, berjarak lima jam perjalanan dari kotaku.
“Lain
kali saat kau ke Padang, potretlah langitnya Ki,” sarannya.
###
Kebetulan,
setelah percakapanku dengan Da Tito tempo hari, aku menyempatkan diri mengunjungi
salah seorang kawanku ketika SMA yang sedang kuliah di Padang. Sekalian aku
ingin berlibur dari aktifitas kuliah selama dua hari di akhir pekan ini. Rencananya
sore ini, aku akan ke kawasan pantai untuk berburu foto. Memotret pengunjung,
kapal-kapal, laut, dan juga langitnya yang disebut indah oleh Da Tito. Namun
Roni kawanku itu malah memaksaku ke Pasar Raya. Katanya ia ingin membeli
beberapa barang. Batallah rencanaku ke kawasan pantai. Namun kubawa juga
kameraku, di pasar setidaknya aku masih bisa memotret. Mungkin akan banyak foto
human interest yang bisa kuhasilkan
nanti.
Pasar
Raya merupakan pasar terbesar yang ada di Kota Padang. Hampir semua pedagang
bisa ditemukan di sini, mulai dari pedagang baju, alat elektronik, kosmetik,
buku, rak sepatu, cermin, alat tulis, bunga hias, kain, petai, ikan, buah,
cangkir, rempah-rempah, hingga cabe giling. Lengkap. Ya, tentunya karena luas
pasar ini yang besar. Ah, untunglah zona
para pedagang itu berbeda. Pedagang alat elektronik dengan pedagang ikan dan
cabe giling berbeda zona. Pedagang makanan juga banyak, berjejer di jalan atau
berada di antara deretan toko-toko. Rumah makan padang, gerobak pedagang
minuman, pangsit, salalauak, gorengan. Tak perlu lagilah aku mengabsen
makanan-makanan itu, toh tak akan kubeli juga semuanya. Hmmm... Aku merasa
lapar, ditambah pula siang ini aku belum makan.
Sumber: ist
“Da,
beli apa Da? Masuk dulu Da... Lihat-lihat,” tawar beberapa pramuniaga toko. Aku
memilih berjalan sendiri. Malas rasanya untuk mengekor Roni berputar-putar
mencari barangnya.
“Sepuluh
ribu tiga, sepuluh ribu tiga...!”
“Dik,
mau ke mana Dik?” tanya sopir angkot. Berisik sekali rasanya.
Tak
lupa kupotret beberapa momen dan objek yang kuanggap menarik. Meriahnya pasar
ini dengan berbagai jenis pedagang, baik yang berseru-seru untuk menarik
perhatian pembeli ataupun yang hanya diam dan tenang, pasar ini semakin meriah
dengan suara kendaraan yang berlalu lalang. Apalagi oleh suara sang nona-nona
cantik. Tampilannya begitu menarik. Sebagian besar si nona-nona itu, dari dalam
tubuhnya menghentak suara musik. Pakaiannya ditempeli stiker dengan berbagai
tulisan dan gambar. Klakson yang terpasang di bahu kanan mereka, seringkali
dibunyikan oleh sopirnya. Apalagi nona-nona yang melaju kemudian berbelok di
simpang masjid itu. Di sekitaran simpang itu, gendang telingaku serasa mau
pecah karena klakson si nona yang berlomba-lomba dibunyikan oleh sopir. Si
nona-nona itu, bisa dikatakan salah satu primadona kota ini. Beberapa stasiun
televisi telah pernah menayangkan tentang angkot Kota Padang yang unik. Hmm...
Tinggalkan
sajalah dahulu pembahasan mengenai nona-nona itu. Hari semakin senja, dan
langit berubah warna jadi lembayung. Ah, tanpa harus mencari view langit luas di pantai, di pasar ini
pun aku bisa memotret langit, dengan tambahan suasana pasar di bawahnya. Kupotret
langit dengan warna jingga lembayung itu.
Seorang
pengemis tiba-tiba menadah tangannya ke arahku. Aku hanya mengangguk dan
melambaikan tangan ke arahnya. Ia pun pergi. Kuperhatikan ia, seorang pria
dengan umur sekitar 50 tahunan. Namun badannya sedikit bungkuk. Daritadi
setidaknya di pasar ini sudah kulihat hampir sepuluh orang pengemis. Baik itu
yang berkeliling, maupun yang duduk menunggu seseorang memberikan uang di ember
kecil yang sudah disediakan. Sebagian di antaranya menadahkan tangannya
langsung padaku seperti yang dilakukan pria tadi. Aku jadi teringat koran yang
kubaca. Laporan utamanya membahas tentang pengemis di beberapa kota. Di tabloid
itu dijelaskan bahwa pengemis rata-rata bisa mendapatkan uang hingga jutaan
dalam sehari. Bahkan tertulis bahwa pengemis ini mempunyai semacam sanggar
untuk berkumpul dan melatih diri dalam pekerjaan mereka. Hmm, hebat juga...
Dengan
sukses, pengemis itu mengalihkan perhatianku. Mengapa tidak kupotret saja
pengemis-pengemis itu? Aku dulu pernah membaca tentang majalah yang mengangkat
tema mengenai pengemis, namun objek yang diobservasi ketika itu ialah pengemis
di Pulau Jawa. Terdapat kampung pengemis yang rata-rata warganya berprofesi
sebagai pengemis. Pengemis yang difabel lebih mudah mendapatkan uang karena
orang-orang yang berlalu-lalang lebih iba pada mereka. Namun jangan salah, si
pengemis mempunyai beberapa rumah bagus di kampungnya yang kemudian
dikontrakkannya. Ah, ya. Aku jadi lagi-lagi ingat. Di warung kampusku pernah
kudengar cerita. Tentang kenalan uni penjaga warung, seorang bapak yang
berkeliling dengan mengemis. Namun malang, uangnya yang saat itu dibawanya
sebanyak 10 juta hilang karena ditinggalkan oleh istrinya yang sedikit
mengalami kelainan mental. Hmm, aku saja tak pernah melihat uang sebanyak itu,
ha ha ha.
“Permisi
Nak...” seorang ibu tua menadahkan tangannya padaku.
Refleks
karena iba dengan tampilan si ibu tua, aku memberikan uang di tangannya. Yah,
tak banyak memang. Entahlah, meski terkadang agak sinis, jika berjumpa dengan
ibu tua aku jadi teringat ibuku di rumah. Ibuku memang belum setua itu, namun
hatiku rasanya terenyuh. Ah, aku jadi teringat pula pasar tradisional di
kampungku, sejak tahun lalu juga mulai banyak pengemis yang lalu-lalang.
Membuatku jadi terheran-heran. Padahal dulu hanya satu hingga tingga orang yang
mengemis di sana, itupun mereka jarang tampak.
Sumber: Ist
Aku
berjalan, celingukan. Mencari target dan bersiap-siap membidik kameraku. Nah,
itu, seorang bapak yang sedang duduk di emperan toko. Kupotret ia diam-diam.
Kulirik hasilnya, aku tersenyum puas. Ada lagi pengemis yang lain, kupotret
lagi. Kususuri jalanan pasar raya. Suara-suara makin bising. Sesekali kupotret
pedagang dan pembeli. Seorang pengemis nampak lagi olehku. Ia memakai tongkat
dan kakinya yang dibebat dihinggapi oleh beberapa lalat, tapi dari wajahnya jelas
bahwa pengemis itu masih muda. Mungkin sekitar 26 atau 27 tahun. Kupikir di
balik bebatan itu ada makanan atau apalah sehingga lalat tertarik untuk ke
sana. Ia agak menundukkan wajahnya. Aku mendekat kepadanya, dari jarak yag
kupikir aman, karena wajahnya tak terlihat jelas. Ia menadahkan salah satu
tangannya. Kupotret ia beberapa kali. Saat kulihat hasilnya di layar kameraku,
kuperhatikan wajahnya. Pengemis itu memang masih muda, ada tahi lalat di
pelipisnya. Sesaat kemudian tahi lalat itu membuatku tersentak. Aku lalu memperpendek
jarak kami.
Aku
memanggilnya. Pengemis itu pasti bisa merasakan ada yang memanggil dirinya
karena aku memang dekat sekali dengannya. Perlahan dengan keheranan ia angkat
wajahnya yang sebelumnya tertunduk. Saat melihatku, air mukanya berubah
terkejut, sebentar kemudian berubah panik dengan mulut tergeragap. Da Tito segera
menunduk lagi. Ia bergeming dan kemudian dengan buru-buru berjalan
meninggalkanku, meski dengan tertatih-tatih mempertahankan tongkatnya. Namun
kentara sekali, kakinya tak lagi bertopang pada tongkat. Aku tak mengejarnya.
Ia menjauh di antara kerumunan orang-orang. Sementara di cakrawala sebagian
awan yang telah berubah warna menjadi ungu bergumpal-gumpal. Di sisi lainnya
awan ungu gelap tipis bagai kabut saja. Ah, langit Padang indah sekali...
Padang-Payakumubuh,
2016
0 Comments