Menjelang Hari ke Tujuh yang Pertama
Zikra Delvira
Angin pertengahan musim gugur sudah
berlalu-lalang beberapa hari ini, terasa dingin, mengubah warna dan sebagian
berhasil merontokkan dedaunan di dahan dan ranting pohon. Orang-orang datang
dan pergi. Para laki-laki menggunakan setelan hitam, sementara perempuan
memakai pakaian formal. Beberapa lainnya memilih menggunakan kimono, yang juga
hitam. Asap dan aroma dupa melayang-layang dari meja altar di depanku. Aku tak
terbiasa dengan aromanya, walau harus kuakui aku juga tak begitu suka. Sebuah
lilin, bunga, dan sebuah foto juga diletakkan di sana. Wajah ramah lelaki tua
sedang tersenyum dalam bingkai foto di meja altar. Lelaki tua itu, kakek angkatku,
kini tengah terbaring di peti, kaku tak
bergerak, tepat di depan altar. Tak ada senyum di wajahnya.
Seseorang membungkuk ke arah Kakek. Entah dia
orang keberapa yang melakukan hal tersebut. Orang tersebut meletakkan satu dupa
ke cawan di altar, menepuk tangan kemudian menangkupkannya. Untuk beberapa saat
ia diam, khusyuk berdoa.
Kami sedang melakukan upacara otsuya untuk Kakek. Salah satu dari
beberapa ritual yang mesti dilakukan untuk orang yang meninggal. Dua hari lalu,
kondisi beliau tiba-tiba drop. Padahal selama aku mengenalnya sejak lima bulan
terakhir, ia segar bugar meski sudah berusia
90 tahun.
“Lingga...,” Ayah memanggilku. Aku menoleh.
“Ya Ayah?”
“Maaf Lingga, kau harus melewati ini,” ia
membetulkan letak kacamatanya, nampak sedikit lelah.
“Kau
pergilah ke luar, tak usah menunggu di sini. Berkumpul saja dengan
teman-temanmu. Kau tak berkewajiban untuk berada di sini sepanjang hari,” sambungnya
lagi.
“Tidak Yah, ini bentuk penghormatanku kepada kakek.
Ia sudah begitu baik padaku.”
Ayah angkatku itu tersenyum. Kata-kataku
menghiburnya. Ia mengangguk, lalu segera menoleh pada tamu lain yang datang
menghampiri.
Sementara aku memilih keluar ruangan untuk
beberapa saat, menghirup udara segar. Pengap. Aroma dupa untuk ritual pemakaman
kakek begitu pekat bagiku. Angin musim gugur meniup rambutku. Musim gugur pertama
sejak aku terpilih menjadi salah satu mahasiswa program pertukaran pelajar.
Tiba-tiba semak perdu yang tak jauh dari tempatku
duduk bergesek. Ah, hanya angin, batinku.
Entah kenapa tiba-tiba aku kembali mencium aroma dupa lagi. Tak mungkin dupa dari
dalam rumah menyeruak hingga ke luar. Kucoba mencari sumber aroma dupa
tersebut, tapi tak kutemukan. Perdu semak kembali bergerak. Menyebalkan! Aku
terburu-buru beranjak kembali ke dalam rumah.
***
Sudah beberapa hari sejak upacara otsuya, ketika semak perdu di dekatku
tetiba bergerak. Aku sendirian di rumah sore ini. Ayah bekerja, Genma abang
angkatku sudah kembali ke Tokyo untuk bekerja juga, ibu mengantarkan nenek ke
klinik. Kupikir, karena sedih ditinggal kakek, menjadi penyebab kondisinya agak
menurun.
Doc. Ist
Aku berdiri di depan foto, dupa, dan bunga
lili yang diletakkan di sudut tokonoma[1].
Pertama kali aku datang ke sini, aku sangat bersyukur karena rumah orang tua
angkatku merupakan rumah bergaya tradisionl khas Jepang. Aku seperti berada di
film-film samurai yang kutonton dahulu. Angin sejuk yang masuk dan menyusup ke tikar
ala Jepang bernama tatami, bayang daun pohon persik yang bergoyang-goyang dan
jatuh di teras, merupakan kenikmatan bagiku. Namun kini aura terasa begitu
lain. Entah karena bau dupa di altar. Terasa lengang saja. Lengang yang hampa.
Hanya suara derap kakiku sendiri dan gemerisik daun-daun pohon di halaman luar.
Aku memandang foto kakek lamat-lamat. Hingga sebuah bayangan hitam sekilas terlihat
olehku dari balik shoji, pintu geser. Aku mendelik. Apa itu? Berkelebat bayangan
lagi.
“Siapa itu?” teriakku.
Lengang. Tak kuperoleh jawaban.
“Ibu?” tebakku. Tapi masih tak ada jawaban. Aku
merasakan angin berdesir di belakang. Cepat kutolehkan kepalaku. Kosong. Hingga
suara musik tiba-tiba mengejutkanku, bel.
Ibu dan nenek sudah pulang dari klinik.
“Selamat datang,” sambutku gugup.
“Ibukah
tadi yang berkelebat di sana?” tunjukku ke arah shoji yang berbatasan dengan halaman.
“Maksudmu?” kening ibu berkerut, wajahnya
terlihat letih. “Mungkin itu hanya burung yang terbang rendah,” namun ibu menjawab
juga.
Aku urung bertanya lagi, dan hanya bergumam,
“Ah, tidak. Tak ada apa-apa.” Aku berhalusinasi,
pikirku. Tak kuganggu lagi Ibu. Kubantu Nenek untuk masuk ke kamar.
“Nenek tak apa-apa?” tanyaku ketika ia sudah duduk
di kamarnya. Ia kulihat murung.
“Ah, ya, tak apa-apa,” sahut Nenek.
“Kau
tahu Lingga,” sambungnya pelan. “Suamiku akan tiba dua hari lagi ke sini,” lalu
ia diam. “Aku harus berpakaian dengan baik,” senyum mengulas di bibirnya. Aku
terpaku memandangnya. Entah karena ucapan Nenek barusan, atau kelebat bayang
hitam tadi yang masih teringat olehku, membuat bulu kuduk meremang.
“Apa maksud Nenek?” tanyaku untk merespon.
Tapi ia hanya diam.
“Ah, jangan cemas,” tiba-tiba ibu sudah datang
menghampiri, bajunya sudah berganti. Ia menyadari muka pucatku sekilas.
“Ini dalam kepercayaan kami, setelah
dikremasi arwah akan tiba tiap hari ke tujuh sebanyak tujuh kali hingga hari ke
49. Pada tiap hari ke tujuh sebanyak tujuh kali itu, kelurga akan melaksanakan
upacara lagi untuk si arwah,” ibu menjelaskan.
Aku mafhum. Menembuskan nafas lega dan merasa bodoh karena sudah merasa takut duluan. Di negara ini masih banyak mitos-mitos yang tersebar. Pengaruh Shintoisme masih mengakar kuat dan menjadi budaya.
Aku mafhum. Menembuskan nafas lega dan merasa bodoh karena sudah merasa takut duluan. Di negara ini masih banyak mitos-mitos yang tersebar. Pengaruh Shintoisme masih mengakar kuat dan menjadi budaya.
“Tadi malam aku bermimpi, aku melihat
bayangannya. Ia menatapku. Aku tersenyum, tapi wajahnya begitu sedih. Saat ia
akan kugapai, ia lalu menghilang,” ujar nenek.
Aku tak tahu harus berkata apa.
“Sebaiknya nenek istirahat dulu,” bisik ibu padaku.
***
Kuliah yang menyenangkan, namun terkadang juga
melelahkan. Sebagaimana biasa, aku berjalan sendiri sepulang kuliah di bawah
jejeran rumpun bambu. Nanti, 50 meter di depan sana ada tangga kuil. Aku jadi teringat ketika Kakek mengajakku
mengunjungi kuil itu. Cahaya matahari terhalang jatuh ke tanah karena rimbunnya
bambu-bambu. Hanya saja kali ini langit mendung. Udara mengawang, entah mengapa
sunyi sekali, bunyi jangrik saja tak ada. Aku mempercepat langkahku. Tiba-tiba
di ujung tangga terbawah kuil, aku melihat seorang laki-laki tua. Ia menatapku
tajam saat aku tiba-tiba berhenti berjalan dan membelalak kepadanya. Tatapannya
seperti akan menelanku bulat-bulat tak bersisa. Bibirnya tersungging, nampak bagiku
seperti sebuah seringai. Suaraku tercekat di tenggorokan. Tak mungkin lelaki
yang kini berdiri di hadapanku itu nyata, tak mungkin!
Doc. Ist
Jika sosok di depanku itu manusia, pasti ada
bayangannya. Kulirik ke bawah. Tapi kemudian sadar cahaya matahari tak ada
untuk membentuk bayangan sosok di depanku. Aku masih terpaku di tempatku
berdiri. Makin lama seringainya makin lebar. Titik-titik gerimis sudah jatuh ke
tanah.
Arwah akan datang ke rumah, pada hari ke tujuh, Lingga,
kalimat Nenek terngiang-ngiang. Mungkin
kau nanti dapat melihat bayangannya nanti.
“Lingga.. Kau Lingga..,” serak suara sosok itu.
“Lingga.. Kau Lingga..,” serak suara sosok itu.
Aku melihat Kakek! Ya, kakek, namun kini
wajahnya lebih muda. Aku tak percaya. Mengucek-ngucek mata berharap ini hanya halusinanasi
karena kuakui aku merasa takut sejak kejadian perdu semak itu. Namun setelah
aku mengucek mata, bukannya memudar bayangan itu malah makin tersenyum padaku. Ini
gila! Tidak, aku tak percaya hantu. Aku yang mengantarkan ayah dan ibu serta
nenek untuk mengkremasikan kakek beberapa hari lalu. Abunya kini sudah ada di dalam
guci kecil di tokonama. Tak mungkin abu
itu membentuk rupa menjadi diri manusia kembali.
“Lingga,” panggil sosok itu lagi, tangannya
melambai padaku.
Wajahnya pucat, terlihat lelah. Angin dingin bergerak di sekitar tengkukku. Aku ingin berteriak, tapi tenggorokanku masih saja tercekat. Sosok itu mulai menyeret langkah ke arahku, langkah yang ganjil. Jangan-jangan ia mau melumat-lumatku, menghisap darahku, memakan jantungku dan hatiku, dan menggeletakkan begitu saja tulangku di sana menjadi artefak. Bayangan buruk akibat sering menonton film horor mulai muncul. Aku harus kabur segera.
Wajahnya pucat, terlihat lelah. Angin dingin bergerak di sekitar tengkukku. Aku ingin berteriak, tapi tenggorokanku masih saja tercekat. Sosok itu mulai menyeret langkah ke arahku, langkah yang ganjil. Jangan-jangan ia mau melumat-lumatku, menghisap darahku, memakan jantungku dan hatiku, dan menggeletakkan begitu saja tulangku di sana menjadi artefak. Bayangan buruk akibat sering menonton film horor mulai muncul. Aku harus kabur segera.
Kakiku! Aku ingin berlari, namun kakiku juga seperti
terpaku ke tanah. Sosok itu makin mendekat. Jarak kami hanya 10 meter. Angin bertiup
kencang, menggerisikkan rumpun bambu. Seperempat menit kemudian barulah aku
bisa menguasai diri, kemudian berlari pontang-panting, putar balik ke jalan
yang kulalui sebelumnya. Meninggalkan sosok yang pucat bagai tanpa darah itu,
berdoa dalam hati semoga ia tak mengejarku.
Tunggu, bukankah dulu Ibu pernah bercerita
tentang adik kakek yang begitu mirip dengannya? Aku mengorek ingatanku seraya masih
berlari. Tapi Ibu tak pernah mengatakan apa-apa lagi tentang adik kakek. Di upcara
otsuya saja adik kakek tak datang. Ah,
mungkinkah ia ingin menghadiri upacara hari ke tujuh? Tapi jika ia adik kakek,
mengapa sosok itu tahu aku? Tahu namaku? Menyeret tubuh dengan langkah yang ganjil
ke arahku? Tersenyum padaku? Seperti senyum yang tercetak pada foto di altar. Aku
masih berlari. Tak peduli entah arah mana yang kutuju, tak peduli hujan makin deras,
menerobos jalan setapak. Hingga kemudian, aku terkejut karena ada yang meremas
bahuku begitu kuat.
September 2017
0 Comments